Politik Praktis Kampus: Saat Demokrasi Kampus Kehilangan Esensinya
Sebagai mahasiswa, Pemilihan Raya (Pemira) seharusnya menjadi ruang pembelajaran demokrasi, di mana kita bisa melihat adu gagasan, visi, dan komitmen para calon presiden mahasiswa (Presma) untuk memperjuangkan kepentingan kita bersama. Namun, kenyataan sering kali jauh dari ideal. Salah satu hal yang paling mengecewakan adalah ketika ada pasangan calon (paslon) yang mengandalkan politik praktis dan cara-cara curang untuk memenangkan suara, bahkan sampai menjatuhkan paslon lain dengan cara tidak etis.
Pemira seharusnya menjadi ajang demokrasi yang bersih, adil, dan transparan. Namun, sungguh mengecewakan ketika salah satu pasangan calon (paslon) yang ikut mencalonkan diri ternyata tidak memenuhi persyaratan dasar pencalonan, termasuk syarat Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) minimal 3.00. Hal ini bukan hanya pelanggaran terhadap aturan yang sudah jelas, tetapi juga penghinaan terhadap prinsip kompetensi dan kelayakan yang seharusnya dijunjung tinggi dalam proses ini.
Keberadaan paslon ini menimbulkan pertanyaan besar tentang integritas mereka. Mengapa mereka tetap maju mencalonkan diri meskipun mengetahui bahwa mereka tidak memenuhi syarat? Ini adalah bukti ambisi yang tidak sehat, keinginan untuk berkuasa dengan mengabaikan aturan yang berlaku. Apakah ini tipe pemimpin yang kita inginkan? Seseorang yang sejak awal sudah menyepelekan aturan, hanya demi ambisi pribadi?
Yang lebih memprihatinkan adalah ketika paslon lebih sibuk mencari kesalahan dari lawannya daripada menyampaikan solusi nyata atas permasalahan kampus. Alih-alih fokus pada program kerja yang bisa memberikan manfaat bagi mahasiswa, mereka memilih jalan pintas dengan menyerang pribadi atau reputasi paslon lain. Kampanye hitam seperti ini tidak hanya merusak hubungan antar mahasiswa, tetapi juga menciptakan atmosfer Pemira yang penuh dengan kebencian dan konflik. Bukankah seharusnya Pemira menjadi ajang untuk menunjukkan kemampuan kepemimpinan, bukan arena untuk menyebar fitnah dan menciptakan permusuhan? Apakah ini cara mereka memimpin? Jika sejak awal mereka menunjukkan perilaku seperti ini, bagaimana mahasiswa bisa mempercayakan mereka untuk menjadi representasi kita? Bukankah pemimpin seharusnya membawa solusi, bukan konflik? Perilaku seperti ini tidak hanya mencerminkan ketidakdewasaan, tetapi juga menimbulkan pertanyaan besar tentang moralitas dan niat sebenarnya mereka mencalonkan diri.
Lebih parahnya lagi, mereka tidak segan-segan memanfaatkan hubungan dengan pihak tertentu untuk mendapatkan keuntungan, bahkan di luar batas aturan. Tindakan seperti ini menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki komitmen terhadap transparansi atau keadilan. Mereka hanya peduli pada satu hal: kemenangan. Dengan strategi kotor ini, mereka telah merusak kepercayaan mahasiswa terhadap proses Pemira. Mereka mungkin berpikir bahwa cara apapun sah dilakukan demi mencapai tujuan, tetapi apa artinya kemenangan jika diperoleh dengan mengorbankan integritas?
Fenomena ini sangat merusak semangat demokrasi di kampus. Ketika politik praktis digunakan, Pemira berubah menjadi ajang perebutan kekuasaan semata, bukan lagi tentang siapa yang memiliki gagasan terbaik untuk kemajuan mahasiswa. Paslon yang menggunakan cara ini sering kali menghalalkan segala cara, seperti memanfaatkan koneksi dengan pihak tertentu untuk mendapatkan keuntungan tidak adil, menyebarkan isu-isu negatif tanpa dasar. Cara-cara seperti ini tidak hanya mencerminkan kurangnya integritas, tetapi juga menunjukkan bahwa paslon tersebut sebenarnya tidak percaya diri dengan kualitas mereka sendiri.
Mahasiswa sebagai pemilih juga harus waspada terhadap paslon yang menggunakan cara-cara curang. Jika sejak awal mereka sudah menunjukkan perilaku tidak jujur, bagaimana kita bisa percaya bahwa mereka akan memimpin dengan transparansi dan keadilan? Paslon yang bermain kotor hanya memperlihatkan bahwa tujuan utama mereka bukanlah memperjuangkan kepentingan mahasiswa, melainkan kepentingan pribadi atau kelompoknya.
Kita perlu mengingat bahwa Pemira bukan sekadar tentang siapa yang menang, tetapi juga tentang bagaimana prosesnya mencerminkan nilai-nilai yang kita junjung bersama sebagai mahasiswa. Ketika politik kampus sudah dirusak oleh praktik curang dan politik praktis, maka kita semua yang akan kehilangan. Kepercayaan terhadap sistem Pemira akan menurun, partisipasi mahasiswa akan semakin berkurang, dan akhirnya, demokrasi kampus akan kehilangan maknanya.
Kritik ini bukan hanya ditujukan kepada paslon yang menggunakan cara-cara kotor, tetapi juga kepada kita semua sebagai mahasiswa. Jangan mudah terpengaruh oleh janji manis atau kampanye negatif. Pilihlah berdasarkan visi, misi, dan rekam jejak yang jelas, bukan sekadar popularitas atau kekuatan kelompok. Dan jika kita melihat kecurangan atau praktik tidak etis, jangan diam. Suarakan, laporkan, dan tuntut agar Pemira kembali menjadi proses yang adil dan bermartabat.
Pada akhirnya, demokrasi kampus adalah tanggung jawab bersama. Paslon yang curang dan mengandalkan politik praktis mungkin bisa menang sekali, tetapi mereka tidak akan pernah bisa memenangkan hati mahasiswa yang sadar dan kritis. Jadi, mari kita jaga Pemira tetap bersih, adil, dan berorientasi pada kepentingan bersama. Karena masa depan politik kampus ada di tangan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar