Minggu, 05 Januari 2025

Pemira: Dinamika, Problematika, dan Harapan Demokrasi Kampus

 Pemira: Dinamika, Problematika, dan Harapan Demokrasi Kampus


Pemilihan Raya (Pemira) mahasiswa, bagi saya, adalah salah satu momen paling paradoks di dunia kampus. Di satu sisi, Pemira dianggap sebagai simbol demokrasi mahasiswa, tempat kita bisa belajar tentang politik, kepemimpinan, dan proses pemilihan yang adil. Tapi di sisi lain, kenyataan yang saya lihat di lapangan sering kali jauh dari ideal. Alih-alih menjadi ajang adu gagasan, Pemira justru lebih sering diwarnai konflik, intrik, bahkan kecurangan yang membuat saya ragu apakah ini benar-benar tentang demokrasi atau hanya soal perebutan kekuasaan semata.

Sebagai mahasiswa biasa, saya sering merasa bahwa Pemira lebih banyak bicara tentang politik kelompok daripada kebutuhan kita semua. Kampanye yang terlihat besar-besaran di permukaan sering kali hanya mempromosikan janji-janji yang kedengarannya bagus, tapi tidak masuk akal atau tidak ada langkah konkret untuk mewujudkannya. Kita diberi daftar panjang visi-misi, tapi hampir selalu berakhir tanpa realisasi. Rasanya, Pemira hanyalah rutinitas tahunan yang penuh retorika, tanpa ada dampak nyata yang benar-benar dirasakan oleh mahasiswa.

Yang paling mengecewakan bagi saya adalah praktik-praktik tidak sehat yang selalu muncul. Mulai dari kampanye hitam, tuduhan kecurangan, sampai polarisasi yang tajam di antara mahasiswa. Saya pernah mendengar cerita tentang manipulasi data pemilih atau tekanan dari kelompok tertentu untuk mendukung calon mereka. Hal-hal seperti ini membuat saya bertanya-tanya, apakah suara kita benar-benar dihargai, ataukah Pemira hanya menjadi panggung bagi segelintir orang untuk menunjukkan kekuasaan mereka?

Dan yang lebih ironis, banyak dari kita—mahasiswa—akhirnya merasa apatis. Mungkin karena kita sudah lelah dengan janji-janji kosong atau merasa bahwa apapun hasilnya, tidak akan ada perubahan berarti. Saya sering mendengar teman-teman saya bilang, "Untuk apa ikut Pemira, kalau ujung-ujungnya tetap sama saja?" Ini menunjukkan betapa jauhnya jarak antara mahasiswa biasa dengan para calon yang katanya ingin mewakili kita.

Meski begitu, saya masih ingin percaya bahwa Pemira bisa lebih baik. Kalau prosesnya transparan, kalau para calon benar-benar serius mendengarkan mahasiswa, dan kalau kita semua sebagai pemilih lebih kritis dalam menentukan pilihan, saya rasa Pemira bisa menjadi sesuatu yang bermakna. Tapi tentu saja, itu semua butuh perubahan besar. Regulasi harus lebih jelas, kecurangan harus diberantas, dan kita semua harus lebih peduli dengan siapa yang kita pilih. Karena pada akhirnya, Pemira bukan hanya soal siapa yang menang, tapi bagaimana kita bisa belajar menjadi bagian dari demokrasi yang sehat, bahkan di ruang kecil seperti kampus.

Bagi saya, Pemira adalah cerminan dari siapa kita sebagai mahasiswa. Kalau prosesnya terus berjalan seperti sekarang, mungkin yang perlu kita evaluasi bukan hanya sistem Pemira, tapi juga diri kita sendiri. Apa kita sudah cukup peduli, atau kita memang terlalu puas dengan keadaan yang ada? Pertanyaan ini, menurut saya, adalah inti dari semua kritik yang bisa kita tujukan kepada Pemira dan diri kita sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ketika Proses Demokrasi Kehilangan Konsistensinya

Pemira yang Dibuka Kembali: Ketika Proses Demokrasi Kehilangan Konsistensinya Pemira (Pemilihan Raya) adalah salah satu ajang demokrasi kamp...