Pemira yang Dibuka Kembali: Ketika Proses Demokrasi Kehilangan Konsistensinya
Pemira (Pemilihan Raya) adalah salah satu ajang demokrasi kampus yang ditunggu-tunggu oleh mahasiswa. Proses ini menjadi cerminan dari bagaimana mahasiswa mengekspresikan hak pilihnya sekaligus memberikan pelajaran penting tentang etika, transparansi, dan profesionalitas dalam berpolitik. Namun, apa jadinya jika proses yang sudah berjalan jauh tiba-tiba terganggu oleh keputusan yang kontroversial?
Baru-baru ini, pemira di kampus kita membuat keputusan mengejutkan. Salah satu pasangan calon (paslon) yang telah melewati tahapan seleksi pemberkasan, masa kampanye, bahkan akan melaksanakan debat, memutuskan untuk mengundurkan diri. Keputusan ini tentu memengaruhi jalannya pemira, tetapi yang lebih mencengangkan adalah keputusan panitia untuk membuka kembali pendaftaran calon.
Dimana Konsistensi Proses?
Keputusan ini menimbulkan banyak pertanyaan dari mahasiswa. Bagaimana bisa pendaftaran calon dibuka kembali setelah proses seleksi berjalan sejauh ini? Bukankah tahapan seperti ini seharusnya memiliki kerangka waktu yang jelas dan tegas? Dengan membuka kembali pendaftaran, panitia terkesan tidak konsisten terhadap jadwal yang mereka tetapkan sejak awal.
Langkah ini juga dapat menciptakan preseden buruk. Jika setiap kali ada paslon yang mundur prosesnya harus diulang, maka tidak ada kepastian hukum dalam pemira. Mahasiswa berhak mempertanyakan, apakah ini keputusan yang benar-benar demi kebaikan bersama, atau justru untuk kepentingan pihak tertentu?
Pengaruh Terhadap Keseimbangan Kompetisi
Membuka kembali pendaftaran setelah debat dan kampanye menciptakan ketidakseimbangan dalam kompetisi. Calon baru yang mendaftar akan memiliki keuntungan karena bisa belajar dari kelemahan dan kekuatan paslon sebelumnya. Sementara itu, mahasiswa sebagai pemilih juga akan bingung karena tiba-tiba harus mempertimbangkan nama-nama baru yang muncul di tengah jalan.
Seharusnya, mundurnya paslon bukan alasan untuk membuka kembali pendaftaran. Jika memang salah satu paslon mundur, proses pemira tetap bisa dilanjutkan dengan sisa paslon yang ada. Ini adalah bentuk penghormatan terhadap waktu dan usaha yang telah dikeluarkan oleh semua pihak, baik peserta maupun pemilih.
Integritas Panitia Dipertanyakan
Keputusan ini juga mencerminkan lemahnya perencanaan panitia. Bukankah seharusnya semua kemungkinan, termasuk mundurnya paslon, sudah diantisipasi sejak awal? Jika pendaftaran bisa dibuka kembali kapan saja, apa artinya seleksi yang telah dilakukan sebelumnya?
Mahasiswa mulai meragukan netralitas dan integritas panitia. Apakah keputusan ini murni demi kebaikan demokrasi kampus, atau ada tekanan dari pihak tertentu? Ketidakjelasan seperti ini hanya akan menciptakan ketidakpercayaan terhadap institusi pemira.
Pemira adalah ajang penting bagi mahasiswa untuk belajar dan berpartisipasi dalam proses demokrasi. Namun, jika proses ini dipenuhi dengan keputusan yang inkonsisten dan tidak transparan, maka esensinya akan hilang. Keputusan untuk membuka kembali pendaftaran setelah tahapan yang begitu panjang hanya menunjukkan lemahnya perencanaan dan pengelolaan.
Sebagai mahasiswa, kita berhak mengkritik dan menuntut transparansi. Karena pada akhirnya, pemira bukan hanya soal siapa yang menang, tetapi juga tentang bagaimana proses itu dijalankan dengan adil, konsisten, dan bermartabat.
Namun, ketika ada mekanisme yang mengatur kondisi tersebut ini seharusnya dilakukan sosialisasi kepada mahasiswa.