Sabtu, 25 Januari 2025

Ketika Proses Demokrasi Kehilangan Konsistensinya

Pemira yang Dibuka Kembali: Ketika Proses Demokrasi Kehilangan Konsistensinya



Pemira (Pemilihan Raya) adalah salah satu ajang demokrasi kampus yang ditunggu-tunggu oleh mahasiswa. Proses ini menjadi cerminan dari bagaimana mahasiswa mengekspresikan hak pilihnya sekaligus memberikan pelajaran penting tentang etika, transparansi, dan profesionalitas dalam berpolitik. Namun, apa jadinya jika proses yang sudah berjalan jauh tiba-tiba terganggu oleh keputusan yang kontroversial?

Baru-baru ini, pemira di kampus kita membuat keputusan mengejutkan. Salah satu pasangan calon (paslon) yang telah melewati tahapan seleksi pemberkasan, masa kampanye, bahkan akan melaksanakan debat, memutuskan untuk mengundurkan diri. Keputusan ini tentu memengaruhi jalannya pemira, tetapi yang lebih mencengangkan adalah keputusan panitia untuk membuka kembali pendaftaran calon.

Dimana Konsistensi Proses?

Keputusan ini menimbulkan banyak pertanyaan dari mahasiswa. Bagaimana bisa pendaftaran calon dibuka kembali setelah proses seleksi berjalan sejauh ini? Bukankah tahapan seperti ini seharusnya memiliki kerangka waktu yang jelas dan tegas? Dengan membuka kembali pendaftaran, panitia terkesan tidak konsisten terhadap jadwal yang mereka tetapkan sejak awal.

Langkah ini juga dapat menciptakan preseden buruk. Jika setiap kali ada paslon yang mundur prosesnya harus diulang, maka tidak ada kepastian hukum dalam pemira. Mahasiswa berhak mempertanyakan, apakah ini keputusan yang benar-benar demi kebaikan bersama, atau justru untuk kepentingan pihak tertentu?

Pengaruh Terhadap Keseimbangan Kompetisi

Membuka kembali pendaftaran setelah debat dan kampanye menciptakan ketidakseimbangan dalam kompetisi. Calon baru yang mendaftar akan memiliki keuntungan karena bisa belajar dari kelemahan dan kekuatan paslon sebelumnya. Sementara itu, mahasiswa sebagai pemilih juga akan bingung karena tiba-tiba harus mempertimbangkan nama-nama baru yang muncul di tengah jalan.

Seharusnya, mundurnya paslon bukan alasan untuk membuka kembali pendaftaran. Jika memang salah satu paslon mundur, proses pemira tetap bisa dilanjutkan dengan sisa paslon yang ada. Ini adalah bentuk penghormatan terhadap waktu dan usaha yang telah dikeluarkan oleh semua pihak, baik peserta maupun pemilih.

Integritas Panitia Dipertanyakan

Keputusan ini juga mencerminkan lemahnya perencanaan panitia. Bukankah seharusnya semua kemungkinan, termasuk mundurnya paslon, sudah diantisipasi sejak awal? Jika pendaftaran bisa dibuka kembali kapan saja, apa artinya seleksi yang telah dilakukan sebelumnya?

Mahasiswa mulai meragukan netralitas dan integritas panitia. Apakah keputusan ini murni demi kebaikan demokrasi kampus, atau ada tekanan dari pihak tertentu? Ketidakjelasan seperti ini hanya akan menciptakan ketidakpercayaan terhadap institusi pemira.   

Pemira adalah ajang penting bagi mahasiswa untuk belajar dan berpartisipasi dalam proses demokrasi. Namun, jika proses ini dipenuhi dengan keputusan yang inkonsisten dan tidak transparan, maka esensinya akan hilang. Keputusan untuk membuka kembali pendaftaran setelah tahapan yang begitu panjang hanya menunjukkan lemahnya perencanaan dan pengelolaan.

Sebagai mahasiswa, kita berhak mengkritik dan menuntut transparansi. Karena pada akhirnya, pemira bukan hanya soal siapa yang menang, tetapi juga tentang bagaimana proses itu dijalankan dengan adil, konsisten, dan bermartabat. 

Namun, ketika ada mekanisme yang mengatur kondisi tersebut ini  seharusnya dilakukan sosialisasi kepada mahasiswa.

Jumat, 24 Januari 2025

Waktu Ashar

 Ashar, senja dan hujan menjelang maghrib 




Sore tadi, langit mulai menggelap. Awan kelabu berarak perlahan, menutupi sisa-sisa cahaya matahari yang mulai meredup. Jam di dinding menunjukkan pukul empat sore, waktu Ashar hampir tiba. Di luar jendela, rintik hujan mulai turun, membasahi dedaunan dan tanah yang kering. Aroma tanah basah bercampur dengan udara yang sejuk, menciptakan suasana yang begitu tenang dan syahdu.

Ashar, bagi umat Muslim, adalah penanda waktu untuk beribadah, sebuah jeda di tengah kesibukan dunia. Di saat yang sama, alam pun menunjukkan keindahannya melalui senja yang mempesona. Perpaduan antara ibadah dan keindahan alam ini menciptakan harmoni yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.

Senja, dengan warna jingga keemasan yang memudar, selalu menawarkan pesona yang berbeda setiap harinya. Kadang ia hadir dengan warna merah merona, kadang pula dengan warna ungu yang lembut. Namun, sore itu, senja hadir dengan warna kelabu yang sendu, berpadu dengan rintik hujan yang semakin deras.

Hujan yang turun menjelang Maghrib memiliki daya magis tersendiri. Ia membawa kesejukan dan ketenangan, membersihkan debu dan kotoran yang menempel di bumi. Suara rintiknya yang jatuh di atap dan dedaunan menciptakan melodi alam yang menenangkan jiwa.

Di saat seperti ini, hati terasa begitu dekat dengan Sang Pencipta. Keindahan alam yang terpampang di depan mata mengingatkan akan kebesaran-Nya. Suara adzan Maghrib yang berkumandang di kejauhan semakin menambah kekhusyukan suasana.

Ashar, senja, dan hujan menjelang Maghrib adalah tiga hal yang berpadu sempurna, menciptakan sebuah momen yang begitu istimewa. Momen di mana kita bisa merenung, bersyukur, dan mendekatkan diri kepada Sang Khalik. Momen yang mengajarkan kita untuk menghargai waktu dan menikmati setiap detik kehidupan.

Rabu, 22 Januari 2025

Perjuangan Mahasiswa Rantau: Cerita di Balik Mimpi yang Dikejar Jauh dari Rumah

 Perjuangan Mahasiswa Rantau: Cerita di Balik Mimpi yang Dikejar Jauh dari Rumah



Meninggalkan rumah untuk menuntut ilmu di tempat yang jauh adalah langkah besar yang diambil banyak mahasiswa rantau. Langkah ini sering kali dipenuhi dengan harapan besar, keberanian, dan juga tantangan yang tak terhitung jumlahnya. Kehidupan mahasiswa rantau adalah kisah perjuangan di balik mimpi-mimpi besar yang ingin diwujudkan.

1. Awal Perjalanan: Antara Harapan dan Kekhawatiran

Hari pertama meninggalkan rumah mungkin adalah momen paling emosional bagi mahasiswa rantau. Dari pelukan terakhir orang tua di terminal hingga tatapan penuh doa mereka, semua terekam di ingatan. Di satu sisi, ada kebanggaan untuk bisa mandiri, namun di sisi lain, ada rasa takut akan ketidakpastian.

Bagi banyak mahasiswa rantau, adaptasi dengan lingkungan baru adalah tantangan pertama yang harus dihadapi. Suasana kota yang berbeda, budaya yang asing, bahkan dialek atau bahasa yang tidak familiar menjadi hal yang perlu mereka pahami dan pelajari.

2. Kehidupan Mandiri: Belajar dari Kesulitan

Kehidupan mandiri adalah "kelas" yang tidak pernah diajarkan secara formal, namun setiap mahasiswa rantau harus lulus dengan sendirinya. Mulai dari mengatur keuangan, memasak sendiri, hingga membersihkan kamar kos yang berantakan setelah seminggu.

Tidak ada lagi kemewahan makanan rumah atau kehadiran orang tua yang selalu siaga. Segalanya harus dikelola sendiri. Dalam proses ini, mahasiswa rantau belajar bertanggung jawab atas hidupnya sendiri, sesuatu yang tidak bisa didapatkan hanya dengan tinggal di zona nyaman.

3. Kesepian yang Jadi Sahabat Lama

Kesepian adalah teman setia bagi mahasiswa rantau. Ada saat-saat ketika mereka merasa rindu rumah, terutama di momen-momen tertentu seperti lebaran, ulang tahun anggota keluarga, atau saat mereka sakit. Video call dan pesan teks mungkin mengurangi jarak, tapi tetap saja, tidak ada yang bisa menggantikan kehangatan pelukan langsung dari keluarga.

Namun, kesepian juga menjadi guru terbaik. Mahasiswa rantau belajar untuk menemukan kebahagiaan dari hal-hal kecil, seperti bercanda dengan teman kos, menikmati makanan sederhana, atau hanya dengan berjalan-jalan sendiri menyusuri kota.

4. Keluarga Baru: Teman-teman yang Jadi Saudara

Di tengah segala tantangan, mahasiswa rantau tidak benar-benar sendiri. Mereka menemukan keluarga baru di tempat perantauan—teman-teman senasib yang juga jauh dari rumah. Bersama-sama, mereka saling mendukung, saling menguatkan, dan saling berbagi cerita.

Teman-teman ini sering kali menjadi orang yang paling memahami perjuangan, karena mereka juga mengalami hal yang sama. Dalam momen-momen sulit, mereka hadir untuk saling membantu dan menghibur.

5. Pelajaran Hidup yang Tak Tergantikan

Menjadi mahasiswa rantau adalah proses yang tidak hanya mengajarkan ilmu akademik, tetapi juga membentuk karakter. Kemandirian, tanggung jawab, keberanian, dan kemampuan bertahan di tengah kesulitan adalah beberapa pelajaran hidup yang tidak bisa dipelajari di ruang kelas.

Mereka belajar bahwa hidup bukan hanya tentang mencapai tujuan, tetapi juga tentang bagaimana menjalani prosesnya dengan penuh makna.

6. Mimpi di Balik Perjuangan

Di balik semua cerita mahasiswa rantau, ada mimpi besar yang ingin dicapai. Mimpi untuk membahagiakan keluarga, membanggakan orang tua, dan meraih masa depan yang lebih baik. Setiap tantangan yang dihadapi hanyalah bagian dari perjalanan menuju mimpi tersebut.


Kehidupan mahasiswa rantau adalah perjalanan panjang yang penuh warna. Ada tawa, tangis, rindu, dan perjuangan yang menjadi satu dalam setiap langkahnya. Meski penuh tantangan, mereka tahu bahwa semua ini adalah bagian dari proses menuju mimpi besar.

Untuk para mahasiswa rantau di luar sana, tetap semangat! Setiap langkah yang kalian ambil adalah investasi untuk masa depan yang lebih cerah. Karena pada akhirnya, semua perjuangan ini akan terbayar dengan kebahagiaan yang tak ternilai. 

Selasa, 07 Januari 2025

Politik Praktis Kampus: Saat Demokrasi Kampus Kehilangan Esensinya

 Politik Praktis Kampus: Saat Demokrasi Kampus Kehilangan Esensinya 



Sebagai mahasiswa, Pemilihan Raya (Pemira) seharusnya menjadi ruang pembelajaran demokrasi, di mana kita bisa melihat adu gagasan, visi, dan komitmen para calon presiden mahasiswa (Presma) untuk memperjuangkan kepentingan kita bersama. Namun, kenyataan sering kali jauh dari ideal. Salah satu hal yang paling mengecewakan adalah ketika ada pasangan calon (paslon) yang mengandalkan politik praktis dan cara-cara curang untuk memenangkan suara, bahkan sampai menjatuhkan paslon lain dengan cara tidak etis.

Pemira seharusnya menjadi ajang demokrasi yang bersih, adil, dan transparan. Namun, sungguh mengecewakan ketika salah satu pasangan calon (paslon) yang ikut mencalonkan diri ternyata tidak memenuhi persyaratan dasar pencalonan, termasuk syarat Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) minimal 3.00. Hal ini bukan hanya pelanggaran terhadap aturan yang sudah jelas, tetapi juga penghinaan terhadap prinsip kompetensi dan kelayakan yang seharusnya dijunjung tinggi dalam proses ini.

Keberadaan paslon ini menimbulkan pertanyaan besar tentang integritas mereka. Mengapa mereka tetap maju mencalonkan diri meskipun mengetahui bahwa mereka tidak memenuhi syarat? Ini adalah bukti ambisi yang tidak sehat, keinginan untuk berkuasa dengan mengabaikan aturan yang berlaku. Apakah ini tipe pemimpin yang kita inginkan? Seseorang yang sejak awal sudah menyepelekan aturan, hanya demi ambisi pribadi?

Yang lebih memprihatinkan adalah ketika paslon lebih sibuk mencari kesalahan dari lawannya daripada menyampaikan solusi nyata atas permasalahan kampus. Alih-alih fokus pada program kerja yang bisa memberikan manfaat bagi mahasiswa, mereka memilih jalan pintas dengan menyerang pribadi atau reputasi paslon lain. Kampanye hitam seperti ini tidak hanya merusak hubungan antar mahasiswa, tetapi juga menciptakan atmosfer Pemira yang penuh dengan kebencian dan konflik. Bukankah seharusnya Pemira menjadi ajang untuk menunjukkan kemampuan kepemimpinan, bukan arena untuk menyebar fitnah dan menciptakan permusuhan? Apakah ini cara mereka memimpin? Jika sejak awal mereka menunjukkan perilaku seperti ini, bagaimana mahasiswa bisa mempercayakan mereka untuk menjadi representasi kita? Bukankah pemimpin seharusnya membawa solusi, bukan konflik? Perilaku seperti ini tidak hanya mencerminkan ketidakdewasaan, tetapi juga menimbulkan pertanyaan besar tentang moralitas dan niat sebenarnya mereka mencalonkan diri.

Lebih parahnya lagi, mereka tidak segan-segan memanfaatkan hubungan dengan pihak tertentu untuk mendapatkan keuntungan, bahkan di luar batas aturan. Tindakan seperti ini menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki komitmen terhadap transparansi atau keadilan. Mereka hanya peduli pada satu hal: kemenangan. Dengan strategi kotor ini, mereka telah merusak kepercayaan mahasiswa terhadap proses Pemira. Mereka mungkin berpikir bahwa cara apapun sah dilakukan demi mencapai tujuan, tetapi apa artinya kemenangan jika diperoleh dengan mengorbankan integritas?

Fenomena ini sangat merusak semangat demokrasi di kampus. Ketika politik praktis digunakan, Pemira berubah menjadi ajang perebutan kekuasaan semata, bukan lagi tentang siapa yang memiliki gagasan terbaik untuk kemajuan mahasiswa. Paslon yang menggunakan cara ini sering kali menghalalkan segala cara, seperti memanfaatkan koneksi dengan pihak tertentu untuk mendapatkan keuntungan tidak adil, menyebarkan isu-isu negatif tanpa dasar. Cara-cara seperti ini tidak hanya mencerminkan kurangnya integritas, tetapi juga menunjukkan bahwa paslon tersebut sebenarnya tidak percaya diri dengan kualitas mereka sendiri.

Mahasiswa sebagai pemilih juga harus waspada terhadap paslon yang menggunakan cara-cara curang. Jika sejak awal mereka sudah menunjukkan perilaku tidak jujur, bagaimana kita bisa percaya bahwa mereka akan memimpin dengan transparansi dan keadilan? Paslon yang bermain kotor hanya memperlihatkan bahwa tujuan utama mereka bukanlah memperjuangkan kepentingan mahasiswa, melainkan kepentingan pribadi atau kelompoknya.

Kita perlu mengingat bahwa Pemira bukan sekadar tentang siapa yang menang, tetapi juga tentang bagaimana prosesnya mencerminkan nilai-nilai yang kita junjung bersama sebagai mahasiswa. Ketika politik kampus sudah dirusak oleh praktik curang dan politik praktis, maka kita semua yang akan kehilangan. Kepercayaan terhadap sistem Pemira akan menurun, partisipasi mahasiswa akan semakin berkurang, dan akhirnya, demokrasi kampus akan kehilangan maknanya.

Kritik ini bukan hanya ditujukan kepada paslon yang menggunakan cara-cara kotor, tetapi juga kepada kita semua sebagai mahasiswa. Jangan mudah terpengaruh oleh janji manis atau kampanye negatif. Pilihlah berdasarkan visi, misi, dan rekam jejak yang jelas, bukan sekadar popularitas atau kekuatan kelompok. Dan jika kita melihat kecurangan atau praktik tidak etis, jangan diam. Suarakan, laporkan, dan tuntut agar Pemira kembali menjadi proses yang adil dan bermartabat.

Pada akhirnya, demokrasi kampus adalah tanggung jawab bersama. Paslon yang curang dan mengandalkan politik praktis mungkin bisa menang sekali, tetapi mereka tidak akan pernah bisa memenangkan hati mahasiswa yang sadar dan kritis. Jadi, mari kita jaga Pemira tetap bersih, adil, dan berorientasi pada kepentingan bersama. Karena masa depan politik kampus ada di tangan kita.

Minggu, 05 Januari 2025

Pemira: Dinamika, Problematika, dan Harapan Demokrasi Kampus

 Pemira: Dinamika, Problematika, dan Harapan Demokrasi Kampus


Pemilihan Raya (Pemira) mahasiswa, bagi saya, adalah salah satu momen paling paradoks di dunia kampus. Di satu sisi, Pemira dianggap sebagai simbol demokrasi mahasiswa, tempat kita bisa belajar tentang politik, kepemimpinan, dan proses pemilihan yang adil. Tapi di sisi lain, kenyataan yang saya lihat di lapangan sering kali jauh dari ideal. Alih-alih menjadi ajang adu gagasan, Pemira justru lebih sering diwarnai konflik, intrik, bahkan kecurangan yang membuat saya ragu apakah ini benar-benar tentang demokrasi atau hanya soal perebutan kekuasaan semata.

Sebagai mahasiswa biasa, saya sering merasa bahwa Pemira lebih banyak bicara tentang politik kelompok daripada kebutuhan kita semua. Kampanye yang terlihat besar-besaran di permukaan sering kali hanya mempromosikan janji-janji yang kedengarannya bagus, tapi tidak masuk akal atau tidak ada langkah konkret untuk mewujudkannya. Kita diberi daftar panjang visi-misi, tapi hampir selalu berakhir tanpa realisasi. Rasanya, Pemira hanyalah rutinitas tahunan yang penuh retorika, tanpa ada dampak nyata yang benar-benar dirasakan oleh mahasiswa.

Yang paling mengecewakan bagi saya adalah praktik-praktik tidak sehat yang selalu muncul. Mulai dari kampanye hitam, tuduhan kecurangan, sampai polarisasi yang tajam di antara mahasiswa. Saya pernah mendengar cerita tentang manipulasi data pemilih atau tekanan dari kelompok tertentu untuk mendukung calon mereka. Hal-hal seperti ini membuat saya bertanya-tanya, apakah suara kita benar-benar dihargai, ataukah Pemira hanya menjadi panggung bagi segelintir orang untuk menunjukkan kekuasaan mereka?

Dan yang lebih ironis, banyak dari kita—mahasiswa—akhirnya merasa apatis. Mungkin karena kita sudah lelah dengan janji-janji kosong atau merasa bahwa apapun hasilnya, tidak akan ada perubahan berarti. Saya sering mendengar teman-teman saya bilang, "Untuk apa ikut Pemira, kalau ujung-ujungnya tetap sama saja?" Ini menunjukkan betapa jauhnya jarak antara mahasiswa biasa dengan para calon yang katanya ingin mewakili kita.

Meski begitu, saya masih ingin percaya bahwa Pemira bisa lebih baik. Kalau prosesnya transparan, kalau para calon benar-benar serius mendengarkan mahasiswa, dan kalau kita semua sebagai pemilih lebih kritis dalam menentukan pilihan, saya rasa Pemira bisa menjadi sesuatu yang bermakna. Tapi tentu saja, itu semua butuh perubahan besar. Regulasi harus lebih jelas, kecurangan harus diberantas, dan kita semua harus lebih peduli dengan siapa yang kita pilih. Karena pada akhirnya, Pemira bukan hanya soal siapa yang menang, tapi bagaimana kita bisa belajar menjadi bagian dari demokrasi yang sehat, bahkan di ruang kecil seperti kampus.

Bagi saya, Pemira adalah cerminan dari siapa kita sebagai mahasiswa. Kalau prosesnya terus berjalan seperti sekarang, mungkin yang perlu kita evaluasi bukan hanya sistem Pemira, tapi juga diri kita sendiri. Apa kita sudah cukup peduli, atau kita memang terlalu puas dengan keadaan yang ada? Pertanyaan ini, menurut saya, adalah inti dari semua kritik yang bisa kita tujukan kepada Pemira dan diri kita sendiri.

Makna Politik Kampus

Politik kampus, yang seharusnya menjadi wadah pembelajaran demokrasi dan kolaborasi antar mahasiswa, semakin tercoreng dengan keberadaan partai mahasiswa ilegal yang merusak dinamika sehat di lingkungan akademik. Partai ilegal ini muncul di tengah-tengah ketidakpuasan terhadap sistem politik kampus formal, tetapi justru membawa lebih banyak dampak negatif daripada solusi. Dengan beroperasi tanpa legitimasi resmi, partai mahasiswa ilegal menciptakan polarisasi, menyuburkan intrik, dan membuka peluang bagi praktik-praktik manipulatif seperti kampanye hitam atau penggalangan dukungan dengan cara-cara tidak etis. Keberadaan mereka menjadi cerminan nyata dari bagaimana politik kampus telah kehilangan fokus pada nilai-nilai dasar, yakni memperjuangkan kebutuhan kolektif mahasiswa dan menciptakan ruang inklusif untuk berorganisasi.

Fenomena ini semakin diperparah oleh lemahnya regulasi dan pengawasan dari pihak kampus, yang sering kali tidak mampu membendung pengaruh partai ilegal. Hal ini menciptakan ruang bagi mereka untuk memanfaatkan celah dalam sistem, seperti menekan kebijakan-kebijakan organisasi resmi, memanipulasi pemilu mahasiswa, atau bahkan memonopoli alokasi dana kegiatan untuk kepentingan kelompok mereka sendiri. Pada akhirnya, mahasiswa yang tidak terlibat dalam partai ini justru merasa semakin terpinggirkan, sementara citra politik kampus sebagai arena belajar dan berkembang secara kolektif semakin terdegradasi.

Keberadaan partai mahasiswa ilegal ini juga menjadi pengingat penting bahwa politik kampus perlu segera direformasi. Transparansi, akuntabilitas, dan inklusivitas harus menjadi prioritas utama agar mahasiswa tidak kehilangan kepercayaan terhadap sistem politik yang ada. Semua elemen kampus, mulai dari mahasiswa hingga pihak pengelola, harus bekerja sama untuk menciptakan regulasi yang lebih ketat, membuka ruang diskusi yang lebih inklusif, serta memastikan bahwa organisasi mahasiswa berjalan sesuai dengan nilai-nilai demokrasi dan kepentingan bersama. Hanya dengan demikian politik kampus dapat kembali menjadi ruang belajar yang sehat, bukan sekadar arena perebutan kekuasaan yang penuh intrik dan manipulasi.

Kamis, 02 Januari 2025

Suara Kecil

 Suara Kecil



    Sebagai mahasiswa, kampus seharusnya menjadi tempat yang ideal untuk belajar, bertumbuh, dan mempersiapkan diri menghadapi dunia nyata. Namun, realitas yang saya hadapi setiap hari membuat saya mempertanyakan apakah sistem yang ada benar-benar mendukung hal itu. Banyak hal yang tampaknya tidak berjalan sebagaimana mestinya, dan semakin lama, rasa frustrasi itu semakin sulit untuk diabaikan.

Tulisan ini bukan untuk menyudutkan, tetapi untuk menggambarkan keresahan saya sebagai mahasiswa yang masih percaya bahwa kampus bisa menjadi tempat yang lebih baik.

1. Birokrasi yang Lambat dan Rumit

Birokrasi kampus adalah salah satu hal yang paling sering dikeluhkan mahasiswa. Proses administrasi seperti pengajuan surat, pengisian KRS, atau pengurusan beasiswa masih terlalu rumit dan memakan waktu.

Saya pernah mendengar keluhan teman-teman yang harus bolak-balik ke bagian administrasi hanya untuk menyelesaikan satu dokumen. Padahal, di era digital seperti sekarang, hal-hal seperti ini seharusnya bisa disederhanakan melalui sistem online yang lebih terintegrasi.

2. Fasilitas Kampus yang Tidak Memadai

Sebagai kampus yang mengusung visi modern dan global, fasilitas di kampus masih belum sepenuhnya mencerminkan visi tersebut. Ruang kelas sering kali terasa kurang nyaman, dengan fasilitas penunjang seperti proyektor atau AC yang terkadang tidak berfungsi optimal.

Laboratorium atau ruang praktik yang seharusnya menjadi tempat mahasiswa memperdalam keterampilan juga belum sepenuhnya memenuhi standar. Sebagai kampus yang berfokus pada logistik dan bisnis, fasilitas teknologi seperti simulasi rantai pasok atau perangkat logistik modern harusnya lebih menjadi prioritas.

3. Kurangnya Transparansi dalam Keuangan Kampus

Sebagai mahasiswa, kami merasa bahwa transparansi keuangan kampus masih jauh dari harapan. Tidak adanya laporan keuangan yang terbuka menimbulkan keresahan tentang bagaimana uang kuliah kami dikelola—apakah benar-benar dialokasikan untuk meningkatkan fasilitas, mendukung kegiatan mahasiswa, atau malah habis untuk kebutuhan seremonial yang tidak dirasakan manfaatnya secara langsung. Ketimpangan ini semakin jelas ketika fasilitas kampus seperti ruang kelas, laboratorium, dan akses teknologi masih tidak memadai, sementara beban administrasi keuangan tetap tinggi. Kegiatan mahasiswa juga sering kali kurang mendapatkan dukungan dana, memaksa kami untuk mencari sponsor atau mengeluarkan biaya pribadi demi menjalankan program yang seharusnya menjadi tanggung jawab kampus. Ironisnya, kampus lebih sibuk membangun citra sebagai institusi modern ketimbang memperbaiki kebutuhan dasar mahasiswa yang menjadi inti keberadaannya. Kami hanya ingin transparansi nyata, laporan keuangan yang terbuka, dan alokasi anggaran yang lebih adil untuk mendukung proses belajar serta pengembangan diri kami. Kritik ini bukanlah upaya untuk menjatuhkan, tetapi panggilan agar kampus berbenah dan menunjukkan bahwa kampus ini benar-benar peduli terhadap mahasiswanya.

4. Minimnya Perhatian terhadap Kesejahteraan Mahasiswa

Di tengah tekanan akademik, mahasiswa juga membutuhkan dukungan dalam aspek kesejahteraan mental dan emosional. Sayangnya, layanan seperti konseling profesional atau program dukungan mental masih jarang terlihat di kampus.

Banyak mahasiswa yang merasa tertekan tetapi tidak tahu harus mengadu ke mana. Padahal, kampus seharusnya menjadi tempat yang mendukung mahasiswa, bukan hanya dalam aspek akademik tetapi juga kehidupan mereka secara keseluruhan.

5. Fokus pada Citra, Bukan Substansi

Salah satu hal yang cukup membuat saya gelisah adalah kecenderungan kampus untuk lebih memperhatikan citra eksternal dibandingkan kebutuhan mahasiswa. Acara-acara besar sering digelar dengan anggaran yang signifikan, tetapi manfaatnya bagi mahasiswa tidak terasa maksimal.

Prestasi mahasiswa sering diekspos untuk meningkatkan nama baik kampus, tetapi ketika mahasiswa membutuhkan dukungan, respons yang diberikan sering kali tidak memadai. Mahasiswa adalah inti dari kampus, dan mereka seharusnya menjadi prioritas utama.

Harapan untuk Perubahan
Sebagai mahasiswa, saya tidak berharap kampus menjadi sempurna. Saya hanya ingin sistem yang lebih manusiawi—yang mendukung kami untuk belajar, berkembang, dan berkontribusi dengan cara yang adil dan efisien.

Birokrasi yang sederhana, fasilitas yang memadai, transparansi yang jelas, dan perhatian terhadap kesejahteraan mahasiswa bukanlah hal yang mustahil. Saya percaya, jika kampus mulai memperbaiki hal-hal kecil ini, maka perubahan besar akan mengikuti.

Tulisan ini adalah suara keresahan, bukan untuk menyerang, tetapi untuk mengingatkan bahwa kampus adalah tempat kami belajar untuk menjadi lebih baik. Jika sistem yang ada rusak, bagaimana kami bisa tumbuh? Perubahan dimulai dari kesadaran, dan saya berharap, suara kecil ini bisa menjadi bagian dari perubahan yang lebih besar.

Karena pada akhirnya, kampus seharusnya menjadi rumah bagi kami, bukan tempat yang membuat kami merasa tidak dihargai.

Ketika Proses Demokrasi Kehilangan Konsistensinya

Pemira yang Dibuka Kembali: Ketika Proses Demokrasi Kehilangan Konsistensinya Pemira (Pemilihan Raya) adalah salah satu ajang demokrasi kamp...